Semua Hilang, Kecuali Wiwi
Duduk diam dengan pandangan kosong, sesekali kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca, sebentar kemudian satu-persatu beralih kusam kembali.
Ruangan terasa sepi mencekam. Mungkin yang lain telah lebih dulu beranjak ke ranjang mereka masing-masing.
Bunyi nyamuk mengusik telinga, silih berganti mereka masuk melalui celah jendela. Tak lebih dari semenit, satu-persatu nyamuk itu bergilir keluar kembali. Mungkin karena kepulan asap rokok yang beraroma batang serai dari soto yang dimakan tadi sore.
***
***
Hari ini terasa sedikit aneh, tapi aku tahu itu apa dan sama sekali tak peduli dengan itu. Yang ada di pikiranku hanyalah Wiwi.
Entah sudah berapa lama aku melamun di atas kasur empuk ini. Lambat laun aku mulai menyadari, cahaya ruangan lebih redup ketimbang hari biasanya.
"Hanya 6 watt? siapa yang mengganti? Ah, mungkin PLN bermasalah," aku bergumam dengan perasaan sedikit heran, sambil menatap bola lampu yang memendarkan sinar putih dari langit-langit kamar. 3 tahun bekerja di sebuah toko elektronik cukup untuk membuat aku fasih mengenali pijaran lampu. Tak lama kemudian, keherananku terpecah karena teringat Wiwi.
Aku melirik sehelai kain hijau di dinding, tergantung horisontal dibawah tali sepanjang 3/4 meter, terlihat seperti tirai jendela. Sekali lagi merasa janggal, aku tak ingat kapan ini dipasang. Aku yakin, ada yang memasangnya diam-diam saat diriku tertidur pulas.
Kakiku mulai bangkit, membawa tubuhku mendekat menuju kain lusuh itu. Dengan penasaran, kuselipkan kepalaku di balik kain itu, aku semakin heran setelah melihat arsitektur jendela yang berubah. Seingatku jendela kaca, tapi sekarang 12 batang besi vertikal terlihat terpasang rapih dan sejajar. Namun, sekali lagi bayangan Wiwi kembali melintas di pikiranku, keherananku berpendar melengkapi cahaya lampu yang masih saja redup.
"Kemana kau Wiwi?" gumamku sambil menatap kursi bambu panjang di seberang jalan depan rumah. Wiwi sangat pemalu, apalagi jika melihat raut ayah, jadi makin salah tingkah. Bisa kumaklumi. Jadi kubuatkan sebuah kursi panjang itu dengan sepenuh hati, untuk yang terkasih. Wiwi akan duduk di sana dan setia menungguku dan akupun akan mengamati setiap langkahnya yang datang, dari jendela kamar lantai 2 ini.
Jalanan begitu sunyi. Jangkrik-jangkrik pun tak pernah sungkan untuk mengeraskan suara nyanyiannya. Katak sepertinya juga berbahagia, dengan penuh semangat ia beradu irama.
Kursi bambu itu masih tetap kosong, terlihat jelas, meski jauhnya lebih dari 15 meter dari ujung hidungku. Jadi, aku pikir aku tak perlu turun untuk memastikannya.
Di atas kursi terpasang sebuah bohlam yang juga redup. Tiba-tiba cahayanya berangsur terang karena tercampur sinar dari salah satu kendaraan bermotor. Suara motor terdengar semakin keras, sinar lampunya semakin memperjelas keheningan malam. Aku baru ingat, jalanan depan rumahku ternyata sudah di aspal. Kontur jalan lumayan rata, bebas belokan dan sepi dari pejalan kaki, ditambah hening yang memekikkan, membuat siapapun tergiur untuk memacu kendaraan mereka dengan ugal-ugalan.
"Nguuueeenng...," suara motor khas 2 tak melaju dengan kencang. Mirip suara nyamuk, tapi terdengar agak keras di telingaku. Dalam sekejap, nyanyian malam berhenti dan terganti oleh kesunyian yang lebih mencekam dari sebelumnya. Mungkin jangkrik merasa minder dengan suara motor itu, atau mungkin mereka sudah kehabisan lagu untuk dinyanyikan.
***
Sosok gelap keluar dari tepi seberang jalan, sepertinya ia hendak menyebrang. Aku yakin itu Wiwi.
"Wiwi!" aku berteriak, menyambut kedatangannya. Tangannya melambai ke arahku dengan senyuman yang begitu indah.
///// KELANJUTAN DARI TULISAN INI TELAH TERLUPAKAN /////
///// DIENTASKAN DARI DRAFT BLOGGER, DENGAN TUJUAN UNTUK MENGHAPUS KESIA-SIAAN /////
Ruangan terasa sepi mencekam. Mungkin yang lain telah lebih dulu beranjak ke ranjang mereka masing-masing.
Bunyi nyamuk mengusik telinga, silih berganti mereka masuk melalui celah jendela. Tak lebih dari semenit, satu-persatu nyamuk itu bergilir keluar kembali. Mungkin karena kepulan asap rokok yang beraroma batang serai dari soto yang dimakan tadi sore.
***
***
Hari ini terasa sedikit aneh, tapi aku tahu itu apa dan sama sekali tak peduli dengan itu. Yang ada di pikiranku hanyalah Wiwi.
Entah sudah berapa lama aku melamun di atas kasur empuk ini. Lambat laun aku mulai menyadari, cahaya ruangan lebih redup ketimbang hari biasanya.
"Hanya 6 watt? siapa yang mengganti? Ah, mungkin PLN bermasalah," aku bergumam dengan perasaan sedikit heran, sambil menatap bola lampu yang memendarkan sinar putih dari langit-langit kamar. 3 tahun bekerja di sebuah toko elektronik cukup untuk membuat aku fasih mengenali pijaran lampu. Tak lama kemudian, keherananku terpecah karena teringat Wiwi.
Aku melirik sehelai kain hijau di dinding, tergantung horisontal dibawah tali sepanjang 3/4 meter, terlihat seperti tirai jendela. Sekali lagi merasa janggal, aku tak ingat kapan ini dipasang. Aku yakin, ada yang memasangnya diam-diam saat diriku tertidur pulas.
Kakiku mulai bangkit, membawa tubuhku mendekat menuju kain lusuh itu. Dengan penasaran, kuselipkan kepalaku di balik kain itu, aku semakin heran setelah melihat arsitektur jendela yang berubah. Seingatku jendela kaca, tapi sekarang 12 batang besi vertikal terlihat terpasang rapih dan sejajar. Namun, sekali lagi bayangan Wiwi kembali melintas di pikiranku, keherananku berpendar melengkapi cahaya lampu yang masih saja redup.
"Kemana kau Wiwi?" gumamku sambil menatap kursi bambu panjang di seberang jalan depan rumah. Wiwi sangat pemalu, apalagi jika melihat raut ayah, jadi makin salah tingkah. Bisa kumaklumi. Jadi kubuatkan sebuah kursi panjang itu dengan sepenuh hati, untuk yang terkasih. Wiwi akan duduk di sana dan setia menungguku dan akupun akan mengamati setiap langkahnya yang datang, dari jendela kamar lantai 2 ini.
Jalanan begitu sunyi. Jangkrik-jangkrik pun tak pernah sungkan untuk mengeraskan suara nyanyiannya. Katak sepertinya juga berbahagia, dengan penuh semangat ia beradu irama.
Kursi bambu itu masih tetap kosong, terlihat jelas, meski jauhnya lebih dari 15 meter dari ujung hidungku. Jadi, aku pikir aku tak perlu turun untuk memastikannya.
Di atas kursi terpasang sebuah bohlam yang juga redup. Tiba-tiba cahayanya berangsur terang karena tercampur sinar dari salah satu kendaraan bermotor. Suara motor terdengar semakin keras, sinar lampunya semakin memperjelas keheningan malam. Aku baru ingat, jalanan depan rumahku ternyata sudah di aspal. Kontur jalan lumayan rata, bebas belokan dan sepi dari pejalan kaki, ditambah hening yang memekikkan, membuat siapapun tergiur untuk memacu kendaraan mereka dengan ugal-ugalan.
"Nguuueeenng...," suara motor khas 2 tak melaju dengan kencang. Mirip suara nyamuk, tapi terdengar agak keras di telingaku. Dalam sekejap, nyanyian malam berhenti dan terganti oleh kesunyian yang lebih mencekam dari sebelumnya. Mungkin jangkrik merasa minder dengan suara motor itu, atau mungkin mereka sudah kehabisan lagu untuk dinyanyikan.
***
Sosok gelap keluar dari tepi seberang jalan, sepertinya ia hendak menyebrang. Aku yakin itu Wiwi.
"Wiwi!" aku berteriak, menyambut kedatangannya. Tangannya melambai ke arahku dengan senyuman yang begitu indah.
///// KELANJUTAN DARI TULISAN INI TELAH TERLUPAKAN /////
///// DIENTASKAN DARI DRAFT BLOGGER, DENGAN TUJUAN UNTUK MENGHAPUS KESIA-SIAAN /////
Komentar
Posting Komentar
Blog ini DOFOLLOW
- Silahkan komentar dengan sopan
- No promosi
Komentar yang tidak pantas akan dihapus