Mempelajari Ilmu Kesempurnaan Hidup Dengat Serat Wedhatama
Di mata manusia, kesempurnaan adalah hal subjektif yang nilainya akan selalu berbeda tiap subjek. Jadi, bisa dibilang bahwa kesempurnaan itu tidak akan pernah ada batas atas atau batas bawahnya. Meski begitu, selama kita mau mempelajari ilmu kesempurnaan, tingkat kesempurnaan yang kita miliki akan semakin meningkat.
Salah satu ajaran yang dapat membimbing kita mencapai kesempurnaan adalah serat Wedhatama. Menurut Wikipedia, Serat Wedhatama (bahasa Indonesia: tulisan mengenai ajaran utama) adalah sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal dinyatakan ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Walaupun demikian didapat indikasi bahwa penulisnya bukanlah satu orang.
Serat ini dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki karakter mistik yang kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa dipakai pada masa itu.
Serat ini terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang dibagi dalam lima lagu, yaitu
- Pangkur (14 pupuh, I - XIV))
- Sinom (18 pupuh, XV - XXXII)
- Pocung (15 pupuh, XXXIII - XLVII)
- Gambuh (35 pupuh, XLVIII - LXXXII)
- Kinanthi (18 pupuh, LXXXIII - C)
Isinya adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang berwatak ksatria.
Terdapat beberapa bagian yang dapat dianggap sebagai kritik terhadap konsep pengajaran Islam yang ortodoks, yang mencerminkan pergulatan budaya Jawa dengan gerakan pemurnian Islam (gerakan Wahabi) yang marak pada masa itu.
Berikut ini adalah terjemahan Serat Wedhatama dalam bahasa Indonesia (aslinya bahasa Jawa) :
Sumber: http://welgeduwelbeh.blogspot.co.id/2013/12/serat-wedhatama-dalam-bahasa-indonesia.html
Apabila melihat secara rinci, Serat Wedhatama seakan hanya berperan sebagai pedoman budi pekerti. Namun, apabila diserap dengan cermat, kesan yang ingin disampaikan penulis adalah mengenai pedoman mencapai kesempurnaan hidup yang sejati. Bukan hanya sebatas kata lisan dan dinilai dengan panca indra semata, melainkan adalah kesempurnaan yang betul-betul murni dalam hati.
1
Meredam nafsu angkara dalam diri,
Hendak berkenan mendidik putra-putri
Tersirat dalam indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai hakekat ilmu luhur,
yang berlangsung di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai “pakaian” kehidupan.
2
Disajikan dalam serat Wedhatama,
agar jangan miskin pengetahuan
walaupun sudah tua pikun
jika tidak memahami rasa sejati (batin)
niscaya kosong tiada berguna
bagai ampas, percuma sia-sia,
di dalam setiap pertemuan
sering bertindak ceroboh memalukan.
3
Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa dipertimbangkan (asal bunyi),
Namun tak mau dianggap bodoh,
Selalu berharap dipuji-puji.
(sebaliknya) Ciri orang yang sudah memahami (ilmu sejati) tak bisa ditebak
berwatak rendah hati,
selalu berprasangka baik.
4
(sementara) Si dungu tidak menyadari,
Bualannya semakin menjadi jadi,
ngelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib si bodoh.
5
Demikianlah ilmu yang nyata,
Senyatanya memberikan ketentraman hati,
Tidak merana dibilang bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah begitu caranya orang hidup.
6
Hidup sekali saja berantakan,
Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti halnya watak anak muda
masih pula berlagak congkak
7
Tujuan hidupnya begitu rendah,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu !
Sedangkan kamu kenal saja belum,
akan hakikatnya tata krama
dalam ajaran yang suci
8
Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas walau tutur kata halus,
Sifat pantang kalah maunya menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu nak !
9
Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa)
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu umpama bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di kulitnya saja nak
Bila terbentur marabahaya,
bisanya menghindari.
10
Karena itu sebisa-bisanya,
Upayakan selalu berhati baik
Bergurulah secara tepat
Yang sesuai dengan dirimu
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku siang malam.
11
Itulah nak, tanyakan
Kepada para sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejak hidup para suri tauladan yang benar,
dapat menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu,
Yang tidak harus dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak !
12
Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cermat mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
13
Tidak lah samar sukma menyatu
meresap terpatri dalam keheningan semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tabir,
berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.
14
Sebenarnya ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan,
Kembali ke alam yang mengosongkan,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal muasalmu
Oleh karena itu,
wahai anak muda sekalian…
(lanjut ke SINOM)
SINOM (Sembah Cipta/Kalbu/Tarekat)
15
Contohlah perilaku utama,
bagi kalangan orang Jawa (Nusantara),
orang besar dari Ngeksiganda (Mataram),
Panembahan Senopati,
yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang malam
selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama (kasih sayang)
16
Dalam setiap pergaulan,
membangun sikap tahu diri.
Setiap ada kesempatan,
Di saat waktu longgar,
mengembara untuk bertapa,
menggapai cita-cita hati,
hanyut dalam keheningan kalbu.
Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu),
dengan tekad kuat, membatasi makan dan tidur.
17
Setiap mengembara meninggalkan rumah (istana),
berkelana ke tempat yang sunyi (dari hawa nafsu),
menghirup tingginya ilmu,
agar jelas apa yang menjadi tujuan (hidup) sejati.
Hati bertekad selalu berusaha dengan tekun,
memperdayakan akal budi
menghayati cinta kasih,
ditepinya samudra.
Kuatnya bertapa diterimalah wahyu dyatmika (hidup yang sejati).
18
Memahami kekuasaan di dalam samodra seluruhnya sudah dijelajahi,
“kesaktian” melimputi indera
Ibaratnya cukup satu genggaman saja sudah jadi, berhasil berkuasa,
Kangjeng Ratu Kidul,
Naik menggapai awang-awang,
(kemudian) datang menghadap dengan penuh hormat,
kepada Wong Agung Ngeksigondo.
19
Memohon dengan sangat lah beliau,
agar diakui sebagai sahabat setia, di dalam alam gaib,
tempatnya berkelana setiap sepi.
Bersedialah menyanggupi,
kehendak yang sudah digariskan.
Harapannya hanyalah meminta
restu dalam bertapa,
Meski dengan susah payah.
20
Perjanjian sangat mulia,
untuk seluruh keturunannya di kelak kemudian hari.
Begitulah seluruh keturunan orang luhur,
bila mau mengasah akal budi
akan cepat berhasil,
apa yang diharapkan orang besar Mataram, anugerahnya hingga kelak dapat mengalir di seluruh darah keturunannya, dapat memiliki wibawa.
21
Enake lan jaman mangkin,
Sayektine tan bisa ngepleki kuna.
Menguasai tanah Jawa (Nusantara),
yang menjadi raja (pemimpin),
satria sakti tertermasyhur,
tak lain keturunan Senopati,
hal ini pantas pula
sebagai tauladan budi pekertinya,
Sebisamu, terapkan di zaman nanti,
Walaupun tidak bisa
persis sama seperti di masa silam.
22
Mending bila dibanding orang hidup tanpa prihatin,
namun di masa yang akan datang (masa kini)
yang digemari anak muda,
meniru-niru nabi, rasul utusan Tuhan,
yang hanya dipakai untuk menyombongkan diri,
setiap akan bekerja singgah dulu di masjid,
Mengharap mukjizat agar mendapat derajat (naik pangkat).
23
Hanya memahami sariat (kulitnya) saja, sedangkan hakekatnya tidak dikuasai,
Pengetahuan untuk memahami makna dan suri tauladan tidaklah mumpuni
Mereka lupa diri, (tidak sadar)
bersikap berlebih-lebihan di masjid besar,
Bila membaca khotbah
berirama gaya dandanggula (menghanyutkan hati),
suara merdu bergema gaya palaran (lantang bertubi-tubi).
24
Jika kamu memaksa meniru,
tingkah laku `Kanjeng Nabi,
Oh, nak terlalu naif,
Biasanya tak akan betah nak,
Karena kamu itu orang Jawa,
sedikit saja sudah cukup.
Janganlah sekedar mencari sanjungan,
Mencontoh-contoh mengikuti fiqih,
apabila mampu,
memang ada harapan mendapat rahmat.
25
Tetapi seyogyanya mencari nafkah,
Karena diciptakan sebagai makhluk lemah,
Apakah mau mengabdi kepada raja,
Bercocok tanam atau berdagang,
Begitulah menurut pemahamanku,
Sebagai orang yang sangat bodoh,
Belum paham cara Arab,
Tata cara Jawa saja tidak mengerti,
Namun memaksa diri mendidik anak.
26
Dikarenakan waktu masih muda,
Keburu menempuh belajar pada agama,
Berguru menimba ilmu pada yang haji, maka yang terpendam dalam hatiku, menjadi
sangat takut akan hari kemudian,
Keadaan di akhir zaman,
Tidak tuntas keburu “mengabdi”
Tidak sempat sembahyang terlanjur dipanggil.
27
Kepada yang memberi makan,
Jika kelamaan dimarahi,
Menjadi kacau balau perasaanku,
Seperti kiyamat saban hari,
Berat “Allah” atau “Gusti”,
Bimbanglah sikapku,
Lama-lama berfikir,
Karena anak turun priyayi,
Bila ingin jadi juru doa (kaum) dapatlah nista,
28
begitu pula jika aku menjadi pengurus dan juru dakwah agama.
Karena aku bukanlah keturunannya,
Lebih baik memegang teguh
aturan dan kewajiban hidup,
Menjalankan pedoman hidup
warisan leluhur dari zaman dahulu kala hingga kelak kemudian hari.
Ujungnya tidak lain hanyalah mencari nafkah.
29
Salahnya sendiri yang tidak mengerti,
Paugeran orang hidup itu demikian seyogyanya,
hidup dengan tiga perkara;
Keluhuran (kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga ilmu pengetahuan.
Bila tak satu pun dapat diraih dari ketiga perkara itu,
habis lah harga diri manusia.
Lebih berharga daun jati kering, akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis dan terlunta.
30
Yang sudah paham tata caranya,
Menghayati ajaran utama,
Jika berhasil merasuk ke dalam jiwa,
akan melihat tanpa penghalang,
Yang menghalangi tersingkir,
Terbukalah rasa sayup menggema.
Tampaklah seluruh cakrawala,
Sepi tiada bertepi,
Yakni disebut “tapa tapaking Hyang Sukma”.
31
Demikianlah manusia utama,
Gemar terbenam dalam sepi (meredam nafsu),
Di saat-saat tertentu,
Mempertajam dan membersihkan budi,
Bermaksud memenuhi tugasnya sebagai satria,
berbuat susila rendah hati,
pandai menyejukkan hati pada sesama,
itulah sebenarnya yang disebut menghayati agama.
32
Di zaman kelak tiada demikian,
sikap anak muda bila mendapat petunjuk nyata,
tidak pernah dijalani,
Lalu hanya menuruti kehendaknya,
Kakeknya akan diajari,
dengan mengandalkan gurunya,
yang dianggap pandita negara yang pandai,
serta sudah menguasai makrifat.
PUCUNG (Sembah Jiwa/Hakekat)
33
diraih dengan cara menghayati dalam setiap perbuatan,
dimulai dengan kemauan.
Artinya, kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama,
Teguh membudi daya
Menaklukkan semua angkara
34
Nafsu angkara yang besar
ada di dalam diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang akan
berubah menjadi gangguan.
35
Berbeda dengan yang sudah menyukai dan menjiwai,
Watak dan perilaku memaafkan
pada sesama
selalu sabar berusaha
menyejukkan suasana,
36
Dalam kegelapan.
Angkara dalam hati yang menghalangi,
Larut dalam kesakralan hidup,
Karena temggelam dalam samodra kasih sayang, kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung
37
Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut diikuti
seperti semua nasehatku.
Jangan seperti zaman nanti
Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat
38
Belum mumpuni sudah berlagak pintar.
Menerangkan ayat
seperti sayid dari Mesir
Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain.
39
Yang seperti itu
termasuk orang mengaku-aku
Kemampuan akalnya dangkal
Keindahan ilmu Jawa malah ditolak.
Sebaliknya, memaksa diri mengejar ilmu di Mekah,
40
tidak memahami
hakekat ilmu yang dicari,
sebenarnya ada di dalam diri.
Asal mau berusaha
sana sini (ilmunya) tidak berbeda,
41
Asal tidak banyak tingkah,
agar supaya merasuk ke dalam sanubari.
Bila berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya.
Seperti yang telah tersirat dalam tembang sinom (di atas).
42
Yang namanya ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita.
Dapat dicapai dengan usaha yang gigih.
Bagi satria tanah Jawa,
dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga perkara yakni;
43
Ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal,
Sabar jika hati disakiti sesama,
Ketiga ; lapang dada sambil
berserah diri pada Tuhan.
44
Tuhan Maha Agung
diletakkan dalam setiap hela nafas
Menyatu dengan Yang Mahakuasa
Teguh mensucikan diri
Tidak seperti yang muda,
mengumbar nafsu angkara.
45
Tidak henti hentinya
gemar mencaci maki.
Tanpa ada isinya
kerjaannya marah-marah
seperti raksasa; bodoh, mudah marah dan menganiaya sesama.
46
Semua kesalahan
dalam diri selalu ditutupi,
ditutup dengan kata-kata
mengira tak ada yang mengetahui,
bilangnya enggan berbuat jahat
padahal tabiat buruknya membawa kehancuran.
47
Belum cakap ilmu
Buru-buru ingin dianggap pandai.
Tercemar nafsu selalu merasa kurang,
dan tertutup oleh pamrih,
sulit untuk manunggal pada Yang Mahakuasa.
GAMBUH (Langkah Catur Sembah)
48
Empat macam sembah supaya dilestarikan;
Pertama; sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah rasa, anakku !
Di situlah akan bertemu dengan
pertanda anugrah Tuhan.
49
Sembah raga adalah
Perbuatan orang yang lagi magang “olah batin”
Menyucikan diri dengan sarana air,
Yang sudah lumrah misalnya lima waktu
Sebagai rasa menghormat waktu
50
Zaman dahulu belum
pernah dikenal ajaran yang penuh tabir,
Baru kali ini ada orang menunjukkan hasil rekaan,
memamerkan ke-bisa-an nya
amalannya aneh aneh
51
Kadang seperti santri “Dul” (gundul)
Bila tak salah, seperti santri wilayah selatan
Sepanjang Pacitan tepi pantai
Ribuan orang yang percaya.
Asal-asalan dalam berucap
52
Keburu ingin tahu,
cahaya Tuhan dikira dapat ditemukan,
Menanti-nanti besar keinginan (mendapatkan anugrah) namun gelap mata
Orang tidak paham yang demikian itu
Nalarnya sudah salah kaprah
53
Bila zaman dahulu,
Tertib teratur runtut harmonis
sariat tidak dicampur aduk dengan olah batin,
jadi tidak membuat bingung
bagi yang menyembah Tuhan
54
Sesungguhnya sariat itu
dapat disebut olah, yang bersifat ajeg dan tekun.
Anakku, hasil sariat adalah dapat menyegarkan badan
agar lebih baik,
55
badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
Mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.
Ketenangan hati membantu
Membersihkan kekusutan batin
56
Begitulah menurut ku !
Tetapi karena orang itu berbeda-beda,
Beda pula garis nasib dari Tuhan.
Sebenarnya tidak cocok
tekad yang pada dijalankan itu
57
Namun terpaksa memberi nasehat
Karena sudah tua kewajibannya hanya memberi petuah.
Siapa tahu dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama.
Barang siapa bersungguh-sungguh akan
mendapatkan anugrah kemuliaan dan kehormatan.
58
Nantinya, sembah kalbu itu
jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual.
Olah (spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja.
Tujuan ajaran ilmu ini;
untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer)
59
Bersucinya tidak menggunakan air
Hanya menahan nafsu di hati
Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada)
Teguh, sabar dan tekun,
semua menjadi watak dasar,
Teladan bagi sikap waspada.
60
Dalam penglihatan yang sejati,
Menggapai sasaran dengan tata cara yang benar
Biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentras
Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan
Itulah, terbukanya “alam lain”
61
Bila telah mencapai seperti itu,
Saratnya sabar segala tingkah laku.
Berhasilnya dengan cara;
Membangun kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan fikiran kepada energi Tuhan.
Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa memasuki alam gaib rahasia Tuhan)
62
Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu)
Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati,
Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal.
Maka awas dan ingat lah
dengan yang membuat gagal tujuan
63
Nanti yang diajarkan
Sembah ketiga yang sebenarnya diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa).
Hayatilah dalam kehidupan sehari-hari
Usahakan agar mencapai sembah jiwa ini anakku !
64
Sungguh lebih penting, yang
disebut sebagai ujung jalan spiritual,
Tingkah laku olah batin, yakni
menjaga kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak.
65
Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga jagad yang dikuasai.
Jagad besar tergulung oleh jagad kecil,
Pertebal keyakinanmu anakku !
Akan kilaunya alam tersebut.
66
Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”,
Mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan,
Sebenarnya hal itu kenyataan, anakku !
Sejatinya jika tidak ingat
Sungguh tak bisa “larut”
67
Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir dan batin)
Tetap sabar mengikuti “alam yang menghanyutkan”
Asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya
yang tampak terlihat di situ
68
Tetapi jangan salah mengerti
Di situ ada cahaya sejati
Ialah cahaya pembimbing,
energi penghidup akal budi.
Bersinar lebih terang dan cemerlang,
tampak bagaikan bintang
69
Yaitu membukanya pintu hati
Terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh).
Cahaya itu sudah kau (roh) kuasai
Tapi kau (roh) juga dikuasai
oleh cahaya yang seperti bintang cemerlang.
70
Nanti ingsun ajarkan,
Beralih sembah yang ke empat.
Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan.
Terjadinya sudah tanpa petunjuk,
hanya dengan kesentosaan batin
71
Apabila belum bisa membawa diri,
Jangan sekali-kali berani mengaku-aku,
mendapat laknat yang demikian itu anakku !
Artinya, seseorang berhak berkata apabila sudah mengetahui dengan nyata.
72
Menghayati pelajaran ini
Bila sudah hilang keragu-raguan hati.
Hanya percaya dengan sungguh-sungguh kepada takdir
itu harap diwaspadai, diingat,
dicermati bila ingin menguasai seluruhnya.
73
Melaksanakan petuah itu
Harus kokoh budipekertinya
Teguh serta sabar
tawakal lapang dada
Menerima dan ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya
Mengerti “sangkan paraning dumadi”.
74
Segala tindak tanduk
dilakukan ala kadarnya,
memberi maaf atas kesalahan sesama,
menghindari perbuatan tercela,
(dan) watak angkara yang besar.
75
Sehingga tahu baik dan buruk,
Demikian itu sebagai ketetapan hati,
Yang membuka penghalang/tabir antara insan dan Tuhan,
Tersimpan dalam rahasia,
Terletak di dalam batin.
76
Rasa hidup itu
dengan cara manunggal dalam satu wujud,
Wujud Tuhan meliputi alam semesta,
bagaikan rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya.
77
Mana manis mana madu,
apabila sudah bisa menghayati gambaran itu,
Bagaimana pengertian sabda Tuhan,
Hendaklah digenggam di dalam hati, sudah jelas dipahami secara lahir dan batin.
78
Dalam batin tak keliru,
Segala cahaya indah dicermati dalam hati,
Yang menjadi petunjuk dalam memahami hakekat Tuhan,
Selamatnya karena budi (bebuden) yang jujur (hilang nafsu),
Agar dapat merasuk beralih “tempat”.
79
Agar usahamu berhasil,
Dapat menemukan apa yang dicari,
upayamu agar dapat melepas penghalang kegaiban,
Apabila kamu tidak paham ; lihatlah tentang bagaimana terjadinya telur.
80
Putih dan kuningnya,
bila akan mewujud (menetas),
wujud datang berganti,
tak disangka-sangka,
bila kelahirannya
dapat berganti wujud,
Kejadiannya di situ !
81
Dipastikan tidak keluar,
juga tidak masuk,
Kenyataannya yang di dalam akhirnya menjadi di luar,
Rasakan sunguh-sungguh,
Jangan sampai terlanjur tak bisa memahami.
82
Sebab apabila sudah terlanjur,
akan tak tenang sepanjang hidup, tidak ada gunanya bila kelak mati,
Menjadi orang hina yang bodoh,
dirinya sendiri malah dianggap tamu.
KINANTHI
83
Padahal bekal hidup,
selamanya waspada dan ingat,
Ingat akan pertanda yang ada
di alam ini,
Menjadi kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara.
Begitulah memelihara hidup.
84
Maka rajinlah anak-anakku,
Belajar menajamkan hati,
Siang malam berusaha,
merasuk ke dalam sanubari,
melenyapkan nafsu pribadi,
Agar menjadi (manusia) utama.
85
Mengasahnya di alam sepi (semedi),
Jangan berhenti selamanya,
Apabila sudah kelihatan,
tajamnya luar biasa,
mampu mengiris gunung penghalang,
Lenyap semua penghalang budi.
86
Awas itu artinya,
tahu penghalang kehidupan,
serta kekuasaan yang tunggal,
yang bersatu siang malam,
Yang mengabulkan segala kehendak,
terhampar alam semesta.
87
Hati jangan lengah,
Waspadailah kata-katamu,
Di situ tentu terasa,
bukan ucapan pribadi,
Maka tanggungjawablah, perhatikan semuanya sampai tuntas.
88
Sirnakan keraguan hati,
waspadalah terhadap pandanganmu,
Itulah caranya berhasil,
Kurangilah sedikit demi sedikit godaan hawa nafsu,
Latihlah agar terlatih.
89
Jangan terbiasa berbuat aib,
Tiada guna tiada hasil,
terjerat oleh aral,
Maka berhati-hatilah,
Hidup ini banyak rintangan,
Godaan harus dicermati.
90
Seumpama orang berjalan,
Jalan berbahaya dilalui,
Apabila kurang perhitungan,
Tentulah tertusuk duri,
celakanya terantuk batu,
Akhirnya penuh luka.
91
Lumrahnya jika seperti itu,
Berobat setelah terluka,
Biarpun punya ilmu segudang,
bila tak sesuai tujuannya,
ilmunya hanya dipakai mencari nafkah dan pamrih.
92
Baru kelihatan jika keinginannya muluk-muluk,
Muluk-muluk bicaranya seperti wali,
Berkali-kali tak terbukti,
merasa diri pandita istimewa,
Kelebihannya tak ada,
Semua bukti sepi.
93
Ilmunya sebatas mulut,
Kata-katanya di gaib-gaibkan,
Dibantah sedikit saja tidak mau, mata membelalak alisnya menjadi satu,
Apakah yang seperti itu pandita palsu,..anakku ?
94
Padahal yang disebut “laku”,
sarat menjalankan ilmu sejati tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan hal-hal sepele yang bukan haknya,
Tidak iri hati dan jail,
Tidak melampiaskan hawa nafsu. Sebaliknya, bersikap tenang agar menggapai keheningan jiwa.
95
Luhurnya budipekerti,
pandai beradaptasi, anakku !
Demikian itulah awal mula,
tumbuhnya benih keutamaan,
Walaupun benar ilmumu,
bila ada yang mempersoalkan..
96
Walau orang yang mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal,
tetapi secara lahir kita mengalah,
berkesanlah persuasif,
sekedar menggembirakan hati orang lain.
Jangan sakit hati dan dendam.
97
Begitulah sarat turunnya wahyu,
Bila teguh selamanya,
dapat bertambah anugrahnya,
dari sabda Tuhan Mahasuci,
terikat di ujung cipta,
tiada terlepas-lepas anakku.
98
Begitulah yang digariskan,
Untuk mendapat anugrah Tuhan.
Maka dari itu anakku,
sebisanya, kalian pura-pura menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain,
nyaman lahir batinnya,
yakni budi yang baik.
99
Pantas menjadi suri tauladan yang ditiru,
Wahana agar hidup mulia,
kemuliaan jiwa raga.
Walaupun tidak persis, seperti nenek moyang dahulu.
100
Tetapi harus giat berupaya, sesuai kemampuan diri,
Jangan melupakan suri tauladan,
Bila tak berbuat demikian itu anakku,
pasti merugi sebagai manusia.
Maka lakukanlah anakku !
Sumber: http://welgeduwelbeh.blogspot.co.id/2013/12/serat-wedhatama-dalam-bahasa-indonesia.html
Apabila melihat secara rinci, Serat Wedhatama seakan hanya berperan sebagai pedoman budi pekerti. Namun, apabila diserap dengan cermat, kesan yang ingin disampaikan penulis adalah mengenai pedoman mencapai kesempurnaan hidup yang sejati. Bukan hanya sebatas kata lisan dan dinilai dengan panca indra semata, melainkan adalah kesempurnaan yang betul-betul murni dalam hati.
Terima kasih telah dicerahkan .....
BalasHapus