Pengalaman Mendaki Gunung Panderman Sendiri (Solo Hiking)
Sabtu, 7 April 2018 adalah pengalaman tergilaku. Sebelumnya rencana pulkam ke Blitar, tapi gak jadi karena Senin ada kuis dari Dosen Killer. Nanggung. hahaha
Hari itu aku cuma gabut berat di kamar kosan, bermain coding dari pagi sampai siang. Programming is fun. But, sewaktu-waktu aku menemukan titik jenuh.
Akhirnya aku memutuskan untuk mencari spot memancing di daerah Batu. Mengendarai motor Revo ku, kutark gas sekencang mungkin, karena saat itu sudah jam 1 siang. Sendirian, jadi gak ada rencana buat pulang larut. Selain tujuan memancing, ada tujuan lain yang membawaku pergi berkelana. Satu hobi baruku yang mulai aku tekuni adalah mengoleksi tumbuhan buah yang jarang aku temui di sekitarku. Hal itu akhirnya menjadi penggoyah niat yang membelokkanku ke jalur pendakian Gunung Panderman.
Gunung Panderman adalah sebuah gunung yang terletak di Kota Batu Malang. Nama gunung ini sendiri diambil dari nama seorang Belanda bernama Van Der Man yang mengagumi keindahan gunung ini pada waktu itu. Gunung ini terletak di dusun Toyomerto Kelurahan Songgokerto Desa Pesanggrahan, Batu Malang. Dusun Toyomerto juga bisa dicapai dengan kendaraan umum dari kota Batu sekitar 3 Km.
Gunung Panderman ini gak setinggi gunung-gunung lainnya yang menjadi favorit hiker, hanya sekitar 2000 mdpl yang bisa ditempuh dengan perjalanan selama satu hari. Biasanya pada hari sabtu malam, banyak para mahasiswa di kota Malang yang berpetualang ke sini.
Untuk dapat mendaki, saya membayar 10.000 untuk parkir dan 7.000 untuk tiketnya. Karena tidak ada persiapan, untuk berjaga kalau lapar, saya membeli 3 buah roti harga seribuan dan 2 batang rokok surya eceran.
Bersegeralah saya untuk memulai pendakian, karena waktu juga semakin mepet, sudah jam 15.00 saat saya parkir.
Ada dua pos sebelum kita mencapai puncak gunung ini. Pertama kita akan menjumpai pos Latar Ombo yang berada di ketinggian 1604 mdpl. Tempat ini bisaanya digunakan untuk camping para pendaki. Di Latar Ombo aku juga sempat bertemu dengan 2 orang pendaki dari daerah Sulfat-Malang. Aku sedikit mengobrol sebentar karena takut keburu gelap. Sampai di sana, belum ada tanaman unik yang bisa aku jamah untuk koleksiku. Aku sebenarnya masih belum yakin untuk mencapai puncak, karena waktu sore, sudah jam 16.00, minim perlengkapan dan tidak ada barengan.
Tapi aku lanjut saja mendaki sambil berpikir-pikir kembali. Lagipula, tinggal 400 mdpl lagi, kurang dari setengah, kok. Tapi kenyataannya medan berikutnya lumayan lebih menantang, banyak bebatuan dan tanjakan curam. Perjalanan saya terhenti kembali di pos kedua yakni, Watu Gede. Karena tempat ini memang terdapat banyak sekali batu besar yang bisa digunakan untuk beristirahat. Pemandangan kota malang semakin eksotis tampak dari sini. Selain itu, aku juga sudah dapat beberapa spesies buah edible untuk koleksiku. Parijoto dan semacam tumbuhan anggur hutan.
"Sendirian aja mas?"
"Loh, mas sendirian? Jomblo ya mas?"
Aku cuma jawab, "Solo hiking mas/mbak"
Aku kira puncak masih tinggal sedikit lagi, tapi medan yang aku lalui tampaknya semakin gila aja, hampir meruntuhkan niatku untuk dapat sampai ke puncak tertinggi gunung Panderman, puncak Basundara. Selama perjalanan aku menemukan banyak spesies aneh yang belum pernah aku temui, tapi sepertinya lagi belum musim berbuah. Jadi aku hanya mengambil lagi sebatang tumbuhan yang kenampakannya mirip blackberry, dan lanjut terburu-buru untuk sampai ke puncak, menahan capek dan ngos-ngosan.
Spesies entah apa namanya
Aku lihat baterai HPku udah kritis. Jadi aku foto gak jelas, sebelum terlambat. Dan aku juga yakin, gak bakal mungkin dapat foto pemandangan puncak.
Aku sampai di puncak mungkin jam 17.00 lebih. Kondisi HP udah mati, gak bisa foto-foto. Itu sedikit bikin aku kecewa. Tapi terobati oleh pemandangan berkabut dari puncak. Yah, sebenarnya itu bukan obat -_- . Banyak tenda sudah memenuhi puncak, sementara aku cuma terlihat awkward mengelilingi tenda buat cari tempat sepi. Seenggaknya, kalau gak bisa foto-foto, bisa ngudut sejenak lah, pikirku. Tapi, mau gimana lagi, waktu juga jadi kendala, terlihat pemandangan bawah sudah mulai menyala-nyala. Lampu di pemukiman padat di Malang yang seperti bintang sudah seperti tanda seru. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali turun.
Belum juga dapat 1/4 perjalanan turun, gema adzan terdengar. Tentunya juga diikuti oleh suasana gelap yang semakin menjadi-jadi. Entah kenapa aku gak takut waktu itu, meski suara burung hantu menakut-nakuti, suara kresek-kresek gak jelas bikin was-was, pemandangan kota dari sini begitu membahana, menjadi teman yang membuatku merasa tak sendiri. Beberapa orang juga masih sempat aku temui. Rasa kawatirku agak menurun, lah. Tapi, setelah turun jauh di bawah Latar ombo, itulah saat paling sunyi dan menyeramkan. Gelap, sendirian, pemandangan lampu tertutup bukit. Tapi aku lawan itu semua sampai aku berhasil sampai di pos kembali jam 18.30. Puas sekali rasanya. :)
Komentar
Posting Komentar
Blog ini DOFOLLOW
- Silahkan komentar dengan sopan
- No promosi
Komentar yang tidak pantas akan dihapus