Sebuah Cerpen #1
Gadis itu tak banyak bicara. Aku selalu mengamatinya dari bangku belakang. Lambat laun, ada perasaan yang sulit untuk kujelaskan.
Namanya Tita. Aku tidak tahu bagaimana pandangan orang lain, tapi menurutku dia cukup misterius dan... cantik. Meski begitu, tiap kali ada obrolan tentang istri idaman di tongkrongan, nama Tata tak pernah masuk nominasi.
Aku pernah mencari akun media sosial Tita; di Instagram, Facebook, Twitter; tak ada hasil. Tidak masuk akal, setidaknya dia pasti punya Instagram. Mungkin bukan tidak ada, hanya saja aku belum menemukan usernamenya.
Sebenarnya aku bisa saja tanya, tapi aku merasa sungkan. Em... mungkin bukan sungkan. Lebih ke rasa khawatir. Aku tidak ingin orang-orang tahu kalau aku... menyukai Tita.
Namun, Dimas, teman seangkatanku sepertinya sudah paham dengan gerak-gerikku.
Di suatu pagi, aku ada kelas mikrobiologi pangan, sekelas dengan Tita. Ketika seruangan dengannya, aku tidak bisa tidak mencuri-curi pandang. Dari situlah cerita dimulai.
"Tita manis ya, Yan..."
"Iya, sih, Dim." Aku keceplosan.
Aku menoleh ke bangku samping, menghadap Dimas. Ada senyum usil di mukanya. Di sampingnya lagi juga ada Suparjo yang mulai terlihat kepo.
Aku segera mengalihkan pembicaraan, "Eee... bener, Dim. Jadi Clostridium botulinum bisa bikin masalah pencernaan. Em... jadi sakit perut bisa jadi pre-diagnosis serangan si bakteri."
"Cieee..." Duh, si Dimas. Dia sudah paham bagaimana kalau aku sudah mengelak.
Seperti reaksi fisi Plutonium-239, semua terjadi begitu cepat. Suparjo yang kepo sudah tahu ke mana arah percakapan. Dia ikutan, "Yan naksir siapa dim?"
Masalahnya adalah, suara Parjo bak pengeras suara masjid Istiqlal. Semua mata menuju arah kami. Termasuk... Tita. Perasaanku campur aduk. Aku segera memandang Dimas dan Parjo dengan bengis. Sambil berharap tidak ada lagi kata-kata yang membuat keadaan semakin kacau.
Komentar
Posting Komentar
Blog ini DOFOLLOW
- Silahkan komentar dengan sopan
- No promosi
Komentar yang tidak pantas akan dihapus