Harga Penderitaan Yang Harus Dibayar Untuk Membeli Kebahagiaan
Saat menderita, manusia ateis bertanya, mengapa ia lahir di dunia? Dan manusia berTuhan menghakimi anggapan ketidakadilan Tuhannya. Kedua manusia ini semakin tumbuh bersama jalannya waktu. Akhirnya, sadar pula bahwa inilah kenyataan hidup yang harus dijalani. Mati bukanlah solusi, lagipula mati juga menyakitkan.
Kehidupan terdiri dari sekian banyak kegiatan manusia. Semuanya menimbulkan gejolak ketidakseimbangan. Hukum alam tetap teguh dengan tugasnya, mengatur alur nasib tiap makhluk agar tetap seimbang.
Percaya atau tidak, saat seseorang berbuat buruk, keburukan dalam bentuk lain akan datang kepadanya di lain hari. Begitu pula soal kebaikan. Ketidakseimbangan ini seperti timba yang berisi penuh dengan air. Seseorang mengaduknya terlalu cepat, sehingga percikan air keluar dari tempat yang seharusnya. Begitulah analogi yang menjelaskan pentingnya surga dan neraka. Keduanya berguna untuk memenuhi ketidakseimbangan. Jika kesalahan belum bisa dibalaskan di dunia, tunggu saja di dunia selanjutnya.
Karena konsep keseimbangan itu, sudah tentu bahwa kebahagiaan harus berdampingan dengan penderitaan. Tapi mengapa beberapa orang merasa bahwa kebahagiaan sederhana tidak mampu terbayarkan dengan derita yang cukup besar?
Dalam ekonomi, harga barang akan naik jika permintaan juga naik, begitu pula sebaliknya. Penderitaan dan kebahagiaan bisa diibaratkan dengan 2 jenis mata uang asing yang diperjualbelikan.
Di awal Tuhan menurunkan manusia, dua jenis mata uang ini dibekalkan secara seimbang jumlahnya kepada tiap manusia. Manusia yang belum matang akan mudah bergejolak emosinya, karena kedua mata uang ini relatif stabil di masa itu. Tapi, kedewasaan seseorang semakin menuntut permintaan bahagia. Uang banyak, mobil mewah, pangkat; semuanya begitu mahal.
Bagaimana mungkin kebahagiaan itu semua bisa dibeli dengan mudah? Apalagi jika permintaan mata uang bahagia semakin tinggi dalam kurun waktu yang lama. Bisa dipastikan, kebahagiaan yang sederhana harus dibayarkan dengan penderitaan yang lebih mahal. Paling tidak, jangan sampai uang kebahagiaan kita mengalami hiperinflasi, ibarat Zimbabwe di 2008 silam (1 USD = 35.000.000.000.000.000 Dollar Zimbabwe). Jika Zimbabwe bisa begitu karena mencetak banyak uang di negerinya, maka kebahagiaan juga bisa mengalami inflasi jika kebahagiaan selalu dituruti di masa muda.
Berapakah harga kebahagiaan Anda? Ayo kita renungkan sejenak.
Komentar
Posting Komentar
Blog ini DOFOLLOW
- Silahkan komentar dengan sopan
- No promosi
Komentar yang tidak pantas akan dihapus