Kenapa Wong Kulon dan Wong Wetan Bermusuhan?
Wong kulon (orang barat) dan wong wetan (orang timur) adalah sebutan implisit untuk masayarakat jawa yang terpisah antara perbatasan jawa barat dan jawa tengah. Saat berkominikasi dengan penduduk Indramayu, beberapa bulan yang lalu, saya sebenarnya belum terlalu paham tentang kedua istilah ini. Sayapun sedikit merasa aneh sekaligus sungkan ketika beberapa inti obrolan dihiasi dengan konflik antara wong wetan dan wong kulon. Hal ini terasa semakin menarik perhatian saya ketika mengetahui sebagian besar dari mereka ternyata memiliki mindset yang tertanam untuk cenderung tidak sepaham dengan wong wetan.
Apa sih sebenarnya masalah yang melatarbelakangi permusuhan ini? tentu saja sejarah!
Sejarah lama sampai saat ini masih banyak dibawa-bawa oleh penduduk daerah sini. Tradisi kejawen yang masih kuat dianut oleh beberapa masyarakat saya rasa juga melatar belakangi ini semua. Ini karena ternyata sejarah konflik yang masih terbawa berasal dari konflik kerajaan Jawa yang telah menjadi sejarah berabad-abad lalu. Yaitu, konflik antara kerajaan Sunda dan Majapahit.
Sebenarnya, tidak semua pemuda tahu tentang akar permasalahan ini. Bahkan, dari inti pembicaraan yang saya peroleh, rupanya konflik pemicu yang melatarbelakangi mindset mereka untuk saling membenci benar-benar menyimpang dengan nilai sejarah yang ada. Lunturnya fakta sejarah ini bisa berawal dari banyak hal, yang jelas semuanya turun dari generasi ke generasi melalui jalur komunikasi mulut ke mulut. Semua ceritanya dibuat berbeda, namun masih dengan kebencian yang sama; al-hasil dari konflik nenek moyang kedua belah pihak.
Pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14 adalah masa yang mengawali konflik antara wong wetan dan wong kulon. Pada masa itu kerajaan Sunda menguasai wilayah sekitaran Jawa Barat dan kerajaan Majapahit mendominasi wilayah timur dan berpusat di sekitaran area Jawa Timur.
Pada masa itu, kerajaan Majapahit dikuasai oleh raja Hayam Wuruk dan tepat sekali dengan masa kejayaan Gajah Mada. Awalnya, hubungan antara kedua kerajaan baik-baik saja. Namun, ketertarikan Raja Hayam Wuruk terhadap putri raja kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka Citaresmi pada saat itu tak diduga akan berujung pada perang Bubat.
Begini ceritanya, konon ketertarikan Hayam Wuruk diawali karena menyebarnya lukisan putri yang beredar di Majapahit. Referensi menyebutkan alasan pernikahan mereka adalah mempererat ikatan antara kedua negara. Namun, ada pula referensi lain yang mengtakan bahwa ini hanyalah taktik Majapahit untuk memperluas kekuasaan. Entahlah, mana yang benar ya?
Setelah mendapat restu dari keluarga, sebuah undangan dikirim dari Majapahit sebagai permohonan untuk melamar putri raja Linggabuana tersebut. Pernikahan direncanakan berlangsung di kerajaan Majapahit. Namun, pihak dewan kerajaan saat itu ragu, karena rasanya tidak pantas jika pihak perempuan yang datang ke pihak lelaki. Selain itu juga ada rasa curiga mengenai diplomasi Majapahit yang sedang gencarnya melakukan perluasan wilayah saat itu.
Nah, karena masih ragu, pihak kerajaan Sunda akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke Majapahit. Bukan untuk menerima pernikahan. Mereka ingin memberi pengakuan terhadap superioritas Majapahit dan untuk membicarakan soal pernikahan lebih matang terlebih dahulu.
Pada saat itu, raja Sunda beserta keluarga dan juga putrinya, Dyah Pitaloka Citaresmi dengan diiringi sedikit pasukan datang ke Majapahit. Pertemuan tersebut terjadi di Pasanggrahan Bubat. Nah, di sinilah kesalahpahaman mulai terjadi.
Tentu kalian sudah tahu kan soal sumpah yang dicetuskan oleh Gajah Mada, ya, sumpah Palapa. Rupanya, sumpah ini membuat si Gajah Mada sedikit berbesar hati (Menurut Kidung Sundayana). Di sini, Gajah Mada dikatakan mendesak Hayam Wuruk untuk menerima putri bukan sebagai pengantin, tapi sebagai tanda takhluk sekaligus pengakuan superioritas.
Sontak saja, hal ini membuat perselisihan antara kedua belah pihak hingga berujung pada peperangan. Singkat cerita, peperangan ini dimenangkan oleh Majapahit, karena kerajaan Sunda kalah jumlah prajurit. Linggabuana, para menteri dan segenap keluarga gugur dalam peristiwa itu. Sementara, putri Dyah Pitaloka pada akhirnya melakukan bela pati, yaitu bunuh diri untuk membela kehormatan dirinya dan negaranya.
Peperangan tersebut menjadi tragedi yang tidak dapat terlupakan, menyebabkan kerenggangan hubungan kedua kerajaan. Selain konflik yang berdampak dalam hal komunikasi, terjadi pula konflik yang sedikit berbau spiritual. Seperti yang kita ketahui, kata orang tua, orang sunda tidak boleh menikah dengan orang jawa. Mengapa demikian?
Saat pengiringan menuju Majapahit, salah satu pitri Linggabuana tidak ikut, karena usianya masih kecil. Ia adalah Nikalawastu Kancana. Sejak tragedi itu berlalu, otomatis sang putri menjadi generasi penerus almarhum Linggabuana satu-satunya. Mungkin karena dendamnya, akhirnya saat ia sudah bisa memimpin, ia memberlakukan larangan estri ti luaran, yang melarang pernikahan dengan pasangan dari luar kerajaan Sunda. Namun, karena efek konflik tersebut, banyak yang mengartikan secara eksplisit sebagai larangan untuk menikah dengan orang Majapahit (orang jawa).
Sejarah yang begitu panjang, ya?
Meskipun kita tidak seketurunan. Janganlah kita membawa-bawa masalah masa lalu. Sekarang konteksnya sudah berbeda. Karena kita sekarang sudah bersatu. Se-nusa, se-bangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Komentar
Posting Komentar
Blog ini DOFOLLOW
- Silahkan komentar dengan sopan
- No promosi
Komentar yang tidak pantas akan dihapus